Sabtu, 04 Juli 2009

Ketika Cinta Bertasbih


Saya memiliki kenangan yang membekas tentang novel Ketika Cinta Bertasbih, sehingga saya menyempatkan diri untuk menontonnya. Saya pernah menggunakan kata-kata di penutup sebuah pernyataan cinta yang berbunyi, … ketika cinta bertasbih di hatiku. Aih… aih.. cooo cweeeet…

Tentang Alur Cerita

Agak aneh rasanya ketika orang datang ke bioskop dan disuguhi cerita yang bersambung. Artinya, keseluruhan jalannya alur cerita film tanpa dihiasi oleh klimaks dan antiklimaks/penyelesaian! Ketika cerita sudah akan memasuki konflik cerita utama — di mana Anna menikah dengan Furqan dan Azzam memulai kehidupannya sebagai pengusaha di Indonesia, cerita malah dihabisi dengan tulisan To be Continued! Dua jam cerita mengalir, sama persis dengan yang ada di buku. Cukup membosankan.

Sebelum menonton, saya sudah menebak-nebak kira-kira bagian mana dari novel yang akan dilewati. Saya menebak bagian kisah cinta Tiara-Fadhil yang tragis akan dilewati, lalu detail-detail kecil Azzam dengan Eliana. Ternyata saya salah. Alur cerita bergerak sangat lambat, semua yang ada di buku dicopy-kan ke film. Yeah, kalau memang jadi dua seri, pembuat film tidak perlu bingung meringkas ceritanya.

Tapi bukan berarti secara keseluruhan filmnya jelek. Karena didukung cerita novelnya yang kuat, versi filmnya menambah visualisasi pesan yang dibawa novel KCB dengan baik. Karakter sentral film ini, Khairul Azzam, digambarkan dengan lebih baik di film. Karakter Azzam yang di novel cenderung serius, pemurung, angkuh terhadap prinsip, di film menjadi Azzam yang ceria, namun tetap tidak meninggalkan prinsip-prinsipnya yang adiluhung sebagai pemuda muslim yang jempolan.

selengkapnya klik http://blog.galihsatria.com

  • rss
  • Del.icio.us
  • Digg
  • Twitter
  • StumbleUpon
  • Reddit
  • Share this on Technorati
  • Post this to Myspace
  • Share this on Blinklist
  • Submit this to DesignFloat

0 komentar:

Posting Komentar